Oleh: Awang H. Satyana
Bulan lalu, Pak Rovicky, Presiden IAGI, meminta saya untuk membantu kawan-kawan dari Ekspedisi Cincin Api Kompas dalam melakukan ekspedisinya di Sulawesi. Kawan2 Kompas tersebut telah beberapa kali menghubungi saya menanyakan hal-hal terkait geologi dan tektonik Sulawesi, terutama tentang wilayah yang terkenal bernama Wallacea dan yang terkait.
Judul di atas adalah judul utama makalah saya yang dipublikasi dan dipresentasikan di pertemuan ilmiah tahunan IAGI dan HAGI tahun 2011 di Makassar, dengan subjudul “Geologic Controls on Biogeographic Wallace’s Line”. Beberapa tahun sebelumnya, tema ini pernah menjadi tema yang diangkat Research Group of SE Asia di bawah Prof. Robert Hall yang mengadakan seminarnya di Inggris, sehingga yang datang ke sana tak banyak dari kita. Di sana pada waktu itu berkumpul para ahli geologi, biologi dan yang terkait membicarakan wilayah Indonesia yang sangat menarik ini. Saya sendiri tak datang ke pertemuan itu walaupun diundang. Saya pikir saya lebih baik mempresentasikannya di Indonesia, di Sulawesi, di Makassar dan didengarkan banyak orang Indonesia. Dan sekarang saya ingin menuliskan ringkasannya agar banyak teman terinformasikan. Makalah lengkapnya ada di proceedings pertemuan JCM – Joint Convention Makassar 2011 (Satyana, 2011, Sulawesi: Where Two Worlds Collided-Geologic Controls on Biogeographic Wallace’s Line).
Semua orang tahu yang disebut dengan Garis Wallace, yaitu garis khayal yang berada memanjang utara-selatan dari Selat Makassar ke Selat Lombok, berperan sebagai garis pembatas penyebaran fauna. Ke sebelah barat dari garis Wallace fauna didominasi oleh tipe2 Oriental (Asia), ke sebelah timur dari garis ini fauna didominasi oleh tipe2 Australian. Garis Wallace ini pertama disebut tahun 1863, namanya tentu tak asing lagi berasal dari Alfred Russel Wallace, seorang naturalis besar Inggris yang pernah menjelajah Nusantara pada 1854-1862.
Garis Wallace adalah garis biologi atau lebih tepatnya biogeografi, tetapi sejak awal Raffles memikirkan bahwa penyebab garis ini adalah geologi. Dalam suatu pertemuan di Linnean Society di London pada 3 November 1859, Wallace mengajukan sebuah paper berjudul “On the Zoological Geography of the Malay Archipelago”, dan dia berkata soal biodiversity Indonesia ini punya hubungan dengan geologi. “Facts such as these (biological diversity) can only be explained by a bold acceptance of vast changes in the surface of the earth”. Apa yang ditulis Wallace ini kita tahu sekarang berhubungan dengan terbentuknya Kepulauan Indonesia sendiri sebagai akibat amalgamasi, penyusunan oleh bagian dari Indonesia Barat yang kemudian bertemu dengan bagian dari Indonesia Timur sejak Neogen.
“Wallacea” adalah nama yang diberikan untuk wilayah di Indonesia bagian tengah yang meliputi Sulawesi, sebagian Nusa Tenggara dan Halmahera, tempat fauna (dan flora) bertransisi dari tipe Asiatic ke Australian, dan sebaliknya. Daerah Wallacea dibatasi di sebelah barat oleh Garis Wallace, dan di sebelah timur oleh Garis Lydekker. Sementara garis Weber adalah garis kesetimbangan fauna, tempat fauna Asiatik dan Australian sama proporsinya, yaitu 50 : 50. Garis Weber terdapat di tengah anatara Haris Wallace dan Garis Lydekker. Ketiga garis ini mempunyai arti geologi. Saat ini, Garis Wallace sejajar dengan akhir batas Kuarter Sundaland di sebelah timur, sedangkan Garis Lydekker mengikuti batas barat Sahul Land.
Sekarang kita lihat Sulawesi. Sulawesi secara tektonik merupakan wilayah yang disusun oleh benturan dua ‘dunia’ atau massa kerak benua yaitu : Sundaland, yang menyusun Sulawesi Barat dan Australoid, yang menyusun sebagian Sulawesi sebelah timur (Banggai-Sula) dan tenggara (Buton). Terjepit di tengahnya adalah kerak oseanik yang kini menjadi ofiolit. Pola-pola tektonik benturan, distribusi daratan dan lautan akibat proses amalgamasi Sulawesi ini akan memengaruhi penghunian Sulawesi oleh fauna asal Asia dan asal Australia.
Biota Sulawesi beragam mencerminkan afinitas dengan Asia dan Australia (Whitten et al, 2002), seperti terjadi dua benturan fauna dari Asia dan Australia seperti juga dicerminkan pada proses pembentukan Sulawesi. Semua mamalia Sulawesi yang berplasenta betasalmdari Sundaic, sedangkan yang berkantung/marsupiala berasal dari afinitas Australia. Tetapi variasi jenis fauna di Sulawesi kalah dengan variasi jenis di tempat2 asalnya yaitu di Sundaland dan Australia atau Papua New Guinea. Yang khas dari Sulawesi adalah tingkat endemisme (kekhasan, hanya ada di tempat itu) yang tinggi karena pulau ini terisolasi dari benua pemasok utamanya. Dari semua mamalia di Sulawesi, 62 % merupakan spesies endemik. 19 dari 25 spesies amfibi, 13 dari 40 spesies kadal, 15 dari 64 spesies ular adalah endemik dengan genus monotypic, juga seperempat dari 328 spesies burung adalah endemik (Whitten et al., 2002).
Di samping itu, island dwarfism juga adalah efek isolasi Sulawesi yang menyebabkan pengerdilan hewan2 yang semula besar dari pemasok benua, contohnya adalah anoa yang diperkirakan berasal dari kerbau yang biasa kita lihatvdi Jawa. Contoh lain pada masa lalu adalah pengerdilan gajah menjadi stegodon yang fosilnya ditemukan di area Cabenge, Sulawesi Selatan.
Demikian, di Sulawesi kita temukan perbenturan antara dua massa kerak bumi antara Sundaland dan Australoid, juga perbenturan dua dunia fauna antara fauna Asiatik dan fauna Australian. Mengapa kedua hal itu bisa terjadi, sebab fauna Asiatik adalah penumpang massa kerak Sundaland, sementara fauna Australia adalah penumpang massa kerak Australoid. Setelah itu, mereka mengalami endemisme tersendiri di tempatnya sekarang. Maka Sulawesi adalah: where two geologic and faunal worlds collided.