Semburan lumpur-gas yang sedang terjadi di Metatu, Gresik, Jawa Timur adalah sebuah perulangan geologi yang pernah juga terjadi di dalam sejarah di wilayah regional Gresik dan sekitarnya.
Maret 2012 yang lalu saya membawa sebuah komunitas pencinta geo-histori Indonesia, Geotrek Indonesia (GI), ke Trowulan-LUSI-Bromo. Atas izin dan bantuan BPLS, mereka saat itu pernah merasakan berada di tengah-tengah LUSI dan berjalan di atas lumpurnya yang telah padat dan kering meskipun belum cukup mengeras serta mengumpulkan cangkang2 (fosil) hewan laut berumur 5 juta tahun yl (Pliosen). Cangkang2 ini adalah bagian materi yang pernah disemburkan LUSI sejak enam tahun yl. Sementara itu, jauh lebih ke tengah lagi, para peserta dapat menyaksikan LUSI masih menyemburkan lumpur dan air hangat-panas dengan uap putihnya. Penelitian terakhir mengindikasi bahwa semburan LUSI telah menyatu dengan sistem geotermal-panasbumi Gunung Arjuno yang duduk menyaksikan LUSI di sebelah selatannya.
Para peserta GI saat berkunjung ke museum Trowulan pun sempat melihat foto di dinding yang bertuliskan Henry Maclaine Pont, ya dia adalah seorang ahli pada zaman Belanda yang menggali bekas ibukota Kerajaan Majapahit ini. Tetapi ada satu orang lagi yang namanya tak banyak dikenal orang, seorang insinyur ahli geohidrologi pada zaman Belanda yang meneliti dinamika wilayah Delta Brantas, James Nash. Pont dan Nash membuka mata kita (paling tidak saya) akan bagaimana sesungguhnya geologi punya peranan dalam menutup kisah Majapahit.
“Inleiding tot het bezoek aan het emplacement en aan de bouwvallen van Madjapahit” (Djawa Tijdschrift van het Java Instituut, 171-174) (Maclaine Pont, 1939) dan “Enige voorlopige opmerkingen omtrent de hydrogeologie ser Brantas vlakte” (Handelingen van 6de Nederlandsche Indische Natuur Wetenschappelijke Congres) (James Nash, 1938) adalah dua laporan penting kedua ahli tersebut yang menerangkan bagaimana dinamiknya di bawah permukaan wilayah bernama Delta Brantas ini. Ini nanti akan berhubungan dengan semburan lumpur dan gas metana di wilayah Gresik, juga LUSI yang saya terangkan kepada komunitas GI dikelas malam di sebuah rumah di tepi kaldera Tengger pada malam berhujan angin Maret 2012.
Menurut Nash (1938), tanah Delta Brantas tidak stabil sebab di bawahnya masih terus saja bergerak tujuh jajaran antiklin (lipatan batuan mencembung) di tempat dangkal yang merupakan sambungan ujung Pegunungan Kendeng yang mengarah ke Selat Madura lewat bawah tanah. Pont (1939) menambahkan bahwa di Delta Brantas masih terus terjadi kenaikan dan penurunan tanah yang berpengaruh kepada perubahan alur Sungai Brantas.
Daldjoeni (1992) seorang ahli geografi yang produktif menulis buku dan pernah menulis tentang Geografi Kesejarahan Indonesia menambahkan bahwa bagaimana Majapahit pernah punya pelabuhan Canggu kemudian menutupnya, dipengaruhi oleh dinamika Delta Brantas ini. Mundurnya Majapahit sebagai penguasa perairan Nusantara dapat dihubungkan dengan mundurnya fungsi Delta Brantas yang didahului rentetan bencana geomorfologis yang dalam buku-buku sejarah tidak pernah ditulis. Namun sebagai gejala alami, sejarah mencatat beberapa hal sbb di bawah ini.
1. Rusaknya tanggul-tanggul Sungai Brantas di dekat Wringinsapta yang lalu diperbaiki oleh Erlangga pada tahun 1037 Saka (prasasti Kelagyan/Klagen).
2. Bencana yang dalam buku Pararaton disebut “banyu pindah” (tahun 1256 Saka)
3. Bencana yang dalam buku Pararaton dosebut “pagunung anyar” (tahun 1296 Saka)
Penelitian2 selanjutnya (a.l Satyana, 2007) menunjukkan bahwa “banyu pindah” adalah berpindahnya secara tiba2 Sungai Brantas karena bergeraknya antiklin dangkal di bawahnya, sementara “pagunung anyar” adalah letusan atau semburan gununglumpur Penelitian2 juga telah menemukan bukti2 bahwa pernah terjadi beberapa kali kenaikan tanah yang pangkalnya adalah bukit Tunggorono di sebelah selatan Jombang lalu menjalar ke Jombatan dan Segunung yang akhirnya mengangkat Canggu sehingga Canggu tak bisa lagi sebagai pelabuhan. Pengangkatan berakhir di Bangsal, sebuah wilayah di sebelah timur Canggu yang dikelilingi oleh bukit2 gununglumpur tua yang oleh nama lokal diberi nama: Gununganyar, Denanyar, atau Redianyar (semuanya gunungbaru, gunung yang tiba2 terjadi oleh sebuah gununglumpur – mud volcano).
Demikianlah kisah yang terjadi dalam sejarah sejak Kahuripan sampai Majapahit sekitar 900-500 tahun yang lalu. Cerita rakyat “Timun Mas” yang berkembang pada masa Jenggala, bila dimengerti ceritanya dengan baik, sesungguhnya adalah sebuah kisah bernuansa “dichtung und wahrheit” (Satyana, 2007) yang menunjukkan bagaimana sebuah gununglumpur terjadi di wilayah Jenggala, seperti LUSI sekarang di Sidoarjo. Kabupaten Sidoarjo adalah ex wilayah Jenggala. Tempatnya masih sama, Delta Brantas, sekarang yang berada di atasnya bukan lagi Kahuripan, Jenggala atau Majapahit, tetapi Kabupaten Gresik, Lamongan, Jombang, Sidoarjo juga Kodya Surabaya.
Hukum uniformisme geologi masih berlaku, apa yang terjadi dulu dapat terjadi kini, the past is the key to the present, atau the present is the key to the past and the future. Wilayah2 tersebut adalah wilayah2 yang secara geologi aktif, kaya gununglumpur, juga kaya hidrokarbon. Ada kantong2 gas tersebar dangkal di bawah tanah. Kantong2 gas ini bisa diidentifikasi di mana sebarannya bila kita punya data seismik detail. Sebaran kantong2 gas ini menyebar ke sepanjang Selat Madura. Ini juga sumber energi kalau kita bisa memanfaatkannya.
Semburan lumpur dan gas yang sedang terjadi di wilayah Gresik ini adalah semburan yang sama yang selalu terjadi di wilayah ini sejak zaman sejarah, bahkan prasejarah. Lama cepat semburan padam akan ditentukan oleh seberapa besar tekanan dan volumetrik struktur di bawah tanah, kantong gasnya. Dari kedalaman berapa asal lumpur bisa dicek dari fosil2 yang mungkin ikut disemburkan. Pencegahan sementara memang baik ditanggul serta gasnya dideteksi terus ke sekelilingnya, bagaimana kadar kemudahan terbakarnya, juga kemungkinan kandungan gas belerang, H2S yang sering toksik, beracun, bila kadarnya tinggi.
Apakah akan seluas dan sekatastrofik LUSI, saya pikir tidak. Data gas, air, lumpur yang keluar dari LUSI menunjukkan sumber yang sangat dalam, lebih dari 7000 meter, dan aktif bergerak mengikuti suatu patahan, bahkan sekarang kelihatannya terhubung dengan sistem geotermal Gunung Arjuno. Semakin dalam semakin besar tekanan. Semakin jauh perbedaan tekanannya dengan tekanan di permukaan maka semakin lama semburan akan terjadi, sebab semburan akan berhenti dengan sendirinya saat tekanan bawah permukaan dan permukaan seimbang. Semburan di wilayah Gresik bukan tipe yang sama dengan asal semburan LUSI.
Gunung2 lumpur lama dari zaman Kahuripan sampai Majapahit, LUSI dan Metatu ini menyaksikan bahwa Dalaman Kendeng termasuk Delta Brantas di atasnya merupakan cekungan elisional yang aktif, juga semburan lumpur Bledug Kuwu di aelatan Purwodadi yang telah ada di situ paling tidak ketika Kerajaan Kalingga ada di utara Jawa Tengah tersebut pada abad ke-8.