Oleh: Awang H. Satyan
Batupasir berumur Eosen langka tersingkap di Jawa, tetapi tiga area di Jawa Barat menyingkapkannya: Bayah, Banten Selatan dan Gunung Walat, Cibadak-Sukabumi. Satu tempat lagi adalah di Ciletuh. Dua lapangan minyak dan gas yang besar di Indonesia Barat punya reservoir batupasir berumur Eosen: Lapangan Tanjung di Kalimantan Selatan dan Lapangan Pagerungan di sebelah timur Kangean, Madura. Untuk itulah kami mendatangi lokasi Ciletuh, Bayah, dan Gunung Walat. Belajar dari singkapannya, dan memikirkan banyak hal untuk keperluan eksplorasi hidrokarbon.
—————————————-
Pagi tadi kami meninggalkan hotel Inna Samudera Beach di Pelabuhanratu. Pukul 9.30 kami sudah menyusuri pasir putih pantai Sawarna Bayah yang terbuka luas dengan ombak Samudera Hindia yang cukup besar. Beberapa peselancar nampak memanfaatkan gelombang laut yang berlari ke pantai.
Tujuan kami bukan pantai terbuka itu, tetapi pada lapisan batuan berumur Eosen Atas yang tersingkap baik di dua tempat di area Sawarna: Tanjung Batulayar dan Karang Taraje. Eosen Atas adalah umur terbaru (Lunt, 2013) bagi kelompok batuan ini yang disebut Formasi Bayah. Inilah lapisan batuan yang membuat Amoco, sebuah perusahaan minyak dari US melakukan penelitian di area ini pada pertengahan tahun 1980-an, mengebor sumur coring sedalam 1000 ft tak jauh dari Karang Taraje (sumur DDH-2), sampai akhirnya mengebor sumur eksplorasi Ujung Kulon-1 di Samudera Hindia sebelah tenggara Semenanjung Ujung Kulon pada tahun 1985 hampir sedalam 10.000 ft.
Mengamati batuan sedimen di lapangan bisa jadi lebih rumit daripada mengamati batuan beku atau batuan metamorf, mengapa sebab banyak sekali atribut yang harus dicek satu per satu dengan detail, termasuk mengukur kedudukan lapisannya, jurus (strike) dan kemiringannya (dip). Setelah pekerjaan lapangan masih ada pekerjaan rekonstruksi struktur dari sekian banyak data pengukuran strike dan dip. Komposisi batuan harus dianalisis melalui sedimentary petrography. Lalu fosilnya harus dikeluarkan, ditentukan spesiesnya, kelimpahannya, sebaran umurnya. Maka pekerjaan geologi lapangan sesungguhnya sulit bila dilakukan dengan benar sebab sebagian besar batuan yang tersingkap adalah batuan sedimen.
Karena sebagian besar peserta adalah generasi muda geologist, saya menceritakan bagaimana urutan bekerja di lapangan bila berhadapan dengan batuan sedimen agar efektif dan tak tertinggal dalam mengambil data yang diperlukan. Yang namanya hal-hal mendasar tak apa-apa diulang-ulang dijelaskan sebab fondasi itu harus kuat dan kokoh.
Pagi tadi kami belajar tentang karakter dan posisi struktur perlapisan batupasir dan batuan sedimen lain yang berhubungan dalam Formasi Bayah. Kelihatannya, dari semua atribut geologi yang dibawanya, batupasir ini pada Eosen Atas merupakan endapan pasir di depan muara sungai yang diserakkan gelombang laut (distributary mouth bar). Di satu tempat sebelum Tanjung Batulayar, posisi struktur lapisan ini berjurus 180 deg NE miring 45 deg ke timur. Di area Batulayar, posisi struktur lapisan ini berjurus 90 NE miring 40 deg ke selatan. Jelas di antara dua singkapan ini ada pematahan lapisan batuan yang cukup tajam (dogleg structure).
Perlapisan batupasir, batulanau, batulempung, dan batupasir konglomeratik yang tersingkap ini tebalnya sekitar 100 meter dari tepi pantai sampai ujung pecahan ombak. Tetapi mereka diendapkan dalam sekuen per sekuen. Dan di beberapa singkapan mereka diendapkan dalam pola system tracts yang ideal berurut dari lowstand, transgressive, dan highstand; lalu berulang lagi dari lowstand, transgressive, highstand yang merupakan bagian sekuen di atasnya yang diendapkan semakin muda ke arah laut.
Tak lama di pantai Sawarna Bayah sebab kami harus melihat singkapan batupasir yang lain, di area Cibadak, Sukabumi, yaitu batupasir Formasi Walat. Kunjungan singkat di Bayah ini hanya berupa konfirmasi bahwa perlapisan batupasir di area Batulayar adalah endapan distributary mouth bar dari sistem delta Bayah yang berumur Eosen Atas dan berprogradasi ke arah selatan.
———————————————-
Setelah mampir di Pelabuhanratu untuk makan siang, kami tiba pukul 16 di lokasi pengamatan batupasir Formasi Walat di area penggalian Pasir Bongkok. Hujan pun turun dengan derasnya. Hujan bukan halangan untuk bekerja di lapangan. Dengan mengenakan jas hujan, kami pun mendatangi satu per satu singkapan batupasir tebal dan lapisan batubara Formasi Walat. Ini pun endapan fluvio-deltaik yang menurut data terbaru (Lunt, 2013) berumur Eosen Atas.
Tetapi ada perbedaan menyolok meskipun seumur dan sama-sama merupakan endapan fluvio-deltaik antara Formasi Bayah yang tersingkap di area Batulayar dan Formasi Walat yang tersingkap di Pasir Bongkok. Batupasir Formasi Walat cenderung lebih kasar dan jauh lebih tebal. Lapisan-lapisan batubaranya banyak, menyisip di antara lapisan-lapisan batupasir. Bisa ditafsirkan bahwa ini merupakan endapan fluvio-deltaik yang lebih dekat ke daratan (sementara endapan Formasi Bayah di area Batulayar merupakan endapan fluvio-deltaik yang lebih dekat ke laut).
Di area pantai Sawarna lapisan batubara jarang ditemukan di singkapan batupasir Formasi Bayah, paling berupa detrital coal sebagai fragmen di dalam batupasir, dan ini menjawab pertanyaan mengapa ada detrital coal dan tak ada coal layer di sini, sebab Formasi Bayah di area Sawarna adalah endapan fluvio-delta yang distal (jauh), sementara endapan batupasir dan coal layers Walat adalah endapan fluvio-delta yang proximal (dekat). Detrital coal di dalam Formasi Bayah yang tersingkap di Batulayar adalah produk transported, sementara coal layer yang menyisip di dalam Formasi Walat adalah produk in-situ.
——————————————-
Tiga jam yang lalu di dalam kelas malam di sebuah hotel di Sukabumi, saya menunjukkan apa arti dan kegunaan memelajari singkapan-singkapan fluvio-deltaik Eosen di Bayah dan Gunung Walat itu dalam eksplorasi hidrokarbon SW West Java. Saya juga menceritakan apa yang dilakukan Amoco dan British Gas pada tahun 1980-an dan akhir 1990-an saat mereka mengeksplorasi area ini mencari hidrokarbon. Mengapa mereka belum berhasil, di aspek mana terjadi kegagalan sumur-sumur eksplorasi yang mereka bor, dan apa yang harus dilakukan ke depan untuk mengeksplorasi area ini.
Dan saya juga menunjukkan mengapa Delta Mahakam dari daratan Kalimantan Timur sampai laut dalamnya di Selat Makassar begitu kaya akan hidrokarbon, dan bagaimana menerapkan keberhasilan ini untuk area-area lain di Indonesia.
Belajar dari singkapan batuan di lapangan, belajar dari data-data hasil analisis laboratorium, belajar dari data-data geofisika seperti seismik, belajar dari data-data sumur-sumur eksplorasi yang ada, dan belajar dari hasil evaluasi dan pemikiran terdahulu; lalu menganalisis dan mengompilasinya, menginterpretasikannya lagi, dan melakukan sintesis atasnya, lalu realisasikan dalam kegiatan operasi – adalah cara terbaik dalam berburu hidrokarbon.
Dan, dimulai dari singkapan batuan di lapangan.***