Oleh: Awang H. Satyana
Seluruh Asia Tenggara pada 30 Ma (juta tahun yang lalu), mid-Oligosen, mengalami susut laut yang sangat besar akibat terjadi pengangkatan regional di mana-mana (Fulthorpe and Schlanger, 1989). Tetapi sebuah relaksasi isostasi (gerakan balik penyembangan kerak Bumi) segera terjadi. Sebagian besar area lalu segera tenggelam lagi, dan laut menggenang di mana-mana sampai sekitar 15 Ma.
Di Jawa Barat, bagian selatannya mulai terangkat karena peristiwa hendak munculnya jalur volkanik pertama yang definitif di Jawa: Oligo-Miocene volcanic arc. Kesempatan pengangkatan ini telah membentuk substrate (landasan) yang baik untuk karbonat laut dangkal Rajamandala berkembang sepanjang Sukabumi sampai Padalarang selama Oligosen Atas, dari 28-24 Ma, yang sekarang arahnya BBD-TTL.
Terjadilah tinggian karbonat berupa kompleks terumbu penghalang (barrier reefs) Rajamandala yang menghalangi bagian selatan Jawa Barat (area sebelah selatan Sukabumi sampai Padalarang) dari laut yang lebih dalam di utaranya yang kemudian terkenal dengan nama Cekungan Bogor. Cekungan Bogor sendiri adalah efek isostasi pengangkatan kerak Bumi di sebelah selatan Jawa Barat. Sebelum Oligo-Miosen mestinya belum ada Cekungan Bogor.
—————————————-
Tadi pagi, kami meluncur dari Sukabumi menuju Rajamandala di sebelah timur Padalarang. Rombongan terdiri atas 30 orang, menggunakan land rover defender dan dua mobil minibus elf jenis besar. Perjalanan Sukabumi-Cianjur-Padalarang ramai lancar pagi tadi.
Sekitar pukul 9.30 kami tiba di Gunung Manik, atau lebih terkenal dengan nama Bukit 48, sebuah bukit yang sering dijadikan tempat latihan panjat tebing oleh tentara Kopasus dan perhimpunan pemanjat tebing. Sebuah monumen pisau komando menancap di puncak bukit ini. Para geologist mengenal bukit ini sebagai core reef, inti terumbu, yang disusun oleh koral dan alga.
Saya mengajak teman-teman melayangkan pandangan regional ke sisi utara, barat, dan timur agar mendapatkan orientasi regional kawasan ini. Dan para peserta fieldtrip segera tahu bahwa mereka tengah berada di tepi utara sebuah tinggian bawah laut selatan Jawa Barat yang pada 28-24 Ma (Oligosen Atas) ditumbuhi kompleks terumbu penghalang yang memanjang 16 km di area ini dari perpotongan jalan dengan Sungai Citarum sampai Padalarang. Mereka memandang ke utara, dan segera terlihat sebuah depresi (daerah rendah) yang sangat luas dan memanjang barat-timur, itulah Cekungan Bogor, yang endapan volkaniknya pada Miosen Awal (Formasi Citarum) menghentikan pertumbuhan terumbu Rajamandala.
Dari depan tebing Bukit 48, kami menjadi tahu mengapa bukit ini dijadikan arena latihan panjat tebing. Sebab, bukit ini dominan disusun koral dan alga yang disusun oleh material aragonitik yang mudah terdisolusi menjadi rekahan-rekahan menganga di batuan. Di rekahan-rekahan itulah tangan para pemanjat tebing dengan kuat mencengkeramnya. Rekahan-rekahan itulah yang diisi minyak atau gas bila ini reservoir hidrokarbon. Dari jauh pun terlihat perkembangan aneka porositas akibat pelarutan, termasuk pembentukan gua-gua kecil.
——————————————–
Sementra gua yang besar dibentuk di Pasir Pawon, sebuah bukit gamping di area forereef, di lereng selatan Cekungan Bogor yang pernah dihuni manusia purba berumur 9600-6500 tahun yang lalu, yang ditemukan perkakas dan rangkanya.
Secara ekofak, gua Pawon nampaknya ideal sebagai tempat hunian. Guanya tinggi dari dasar bukit. Ketika mengunjunginya tadi siang, kami membayangkan para manusia purba ini mengintai buruannya dari mulut gua di tempat tinggi dan melemparkan lembing bermata mikrolit obsidian, jasper, kalsedon atau batugamping runcing atasnya. Membawanya ke dalam gua, memecahkan tulang-tulangnya, dan membakar dagingnya sebelum dimakan. Semua bekas aktivitasnya itu telah ditemukan sejak tahun 1999, sebelum lima tahun kemudian ditemukan fosil kerangka manusia purba tersebut. Situs Gua Pawon adalah situs penting penghunian purba Jawa Barat. Manusia purba penghuni Pawon adalah Homo sapiens ras Mongoloid.
———————————————–
Sore tadi di Padalarang kami menutup fieldtrip ini. Saya mempresentasikan bagaimana pola barrier reefs ini sebagai tempat akumulasi migas. Saya membawa analog batugamping Kujung di area Jawa Timur yang prolifik sebagai reservoir migas di banyak fasies karbonat yang berkembang di Jawa Timur pada Oligo-Miosen.
Mengakhiri presentasi, saya tak lupa berpesan kepada para generasi muda eksplorer pencari minyak dan gas ini: “always think in 3G and historically when you explore petroleum.” Kejadian akumulasi migas adalah elemen dan proses sejarah geologi, jadi pikirkanlah sejarah geologi dalam ruang dan waktu ketika mencarinya. Dan 3G, geologi-geofisika-geokimia adalah tripartit metode yang tepat untuk mencarinya, jangan abaikan satu pun di antaranya.
“Teknologi bisa dibeli, data bisa dicari, tetapi para geologist yang dapat diandalkan hanya dilahirkan melalui kecintaan, ketekunan, antusiasme, dan keberanian yang terus-menerus dilatihkan kepada mereka. Dan belajar di lapangan, di kelas, diskusi-diskusi adalah sarana melatih mereka.”, begitu kira-kira kata-kata penutup Pak Eddy Purnomo mewakili Pertamina Hulu Energi dalam menutup fieldtrip ini.
Di luar kelas di Kota Baru Parahyangan, Padalarang kami berfoto dan diakhiri dengan melompat bersama. Usailah fieldtrip empat hari ke Ciletuh, Bayah, Walat dan Rajamandala ini, untuk memahami geologi, tektonik, stratigrafi, petroleum geology objektif Pra-Tersier dan Paleogen. Fieldtrip boleh usai, tetapi pemikiran harus berjalan terus. “Oil is firstly found in the minds of men.” (Wallace Pratt, 1952)***