Oleh: Awang H. Satyana
“Jiwa yang mencintai misteri yakin sekali bahwa benda menyembunyikan
sesuatu dari mata yang memandangnya.” M.Proust – “Le Temps Retrouvé”
Berikut sebuah cerita yang saat itu (Februari, 2013) belum sempat saya tuliskan cukup detail, sebagian dari perjalanan Geotrek Indonesia ke Pacitan dengan tema “Ancient Pacitanian.”
————————————————
KALI BAKSOKA – PACITAN
Kali Baksoka/Baksoko, di sebelah barat Pacitan, Jawa Timur, meskipun hanya sebuah kali, ia terkenal ke seluruh dunia, dunia arkeologi dan paleoantropologi. Kali ini telah mengangkat kota Pacitan sebagai nama sebuah produk kebudayaan prasejarah di dunia: Pacitanian, yaitu kebudayaan perkakas batu manusia purba berumur Paleolitikum.
Adalah G.H.R. von Koenigswald, ahli paleontologi terkenal pada masa Belanda di Indonesia, pada tahun 1935 bersama M.W.F Tweedie (kurator museum Raffles di Singapura) tanpa mereka duga telah menemukan peralatan batu manusia purba yang sangat kaya, tidak kurang dari 3000 buah, dari Kali Baksoka. Konon artefak sebanyak itu ditemukan hanya dalam waktu sejam. Begitu gembiranya Koenigswald akan penemuan ini, sehingga ia menggelar pertunjukan wayang selama tujuh hari tujuh malam untuk masyarakat Punung, Pacitan. Punung adalah nama sebuah kampung di dekat Kali Baksoka.
Setahun kemudian, von Koenigswald mengumumkan penemuannya itu dalam Jurnal Bulletin Raffles Museum, No. 1, halaman 52-62, berjudul, “Early Palaeolithic stone implements from Java”. Sejak itu, terkenalah artefak-artefak Kali Baksoka ini sebagai hasil kebudayaan yang disebut “Pacitanian”. Nama Kebudayaan Pacitanian ini kemudian digunakan oleh banyak ahli arkeologi yang meneliti Indonesia, Asia Tenggara dan Asia, juga dalam perbandingannya dengan kebudayaan sezaman di tempat-tempat lain di seluruh dunia.
Bisa disebut bahwa Kali Baksoka adalah sebuah legenda dalam dunia arkeologi.
PRASEJARAH PEGUNUNGAN SEWU
Penemuan bersejarah oleh von Koenigswald (1935) tersebut menjadi momentum yang mengawali penelitian arkeologi berkelanjutan di Pegunungan Sewu, khususnya daerah Pacitan. Penelitian-penelitian selanjutnya sampai zaman modern ini ternyata telah menunjukkan bahwa daerah Pegunungan Sewu memang merupakan daerah hunian manusia purba Homo erectus – Homo sapiens awal. Sampai saat ini telah berhasil ditemukan dan didata 135 situs prasejarah, terdiri atas sekitar 60 situs gua, 70 situs alam terbuka dan selebihnya merupakan situs aliran sungai (Simanjuntak, 2004).
Berdasarkan penyelidikan-penyelidikan yang dilakukan di wilayah Pegunungan Sewu, maka dapat diketahui bahwa wilayah Pegunungan Sewu menampakkan corak budaya prasejarah yang lengkap mulai dari paleolitik, preneolitik (mesolitik), neolitik, dan paleometalik. Pentarikhan umur tertua terdapat di lapisan antropik (lapisan yang menunjukkan bekas aktivitas manusia) di gua Song Terus sekitar 300.000 tahun yang lalu (Plistosen Tengah bagian atas). Pentarikhan umur termuda adalah pada gerabah, senjata besi, dan manik-manik di situs Klepu sekitar 700 tahun yang lalu. Kapan wilayah ini sebenarnya mulai dihuni, tidak diketahui pasti, mungkin terjadi pada periode Plistosen Tengah (kisaran umur dari 800.000-120.000 tahun yang lalu).
Kenyataan penanggalan umur yang panjang itu (300.000-700 tahun yang lalu) menunjukkan Pegunungan Sewu sebagai suatu kesatuan geografi perbukitan kars telah memiliki sejarah hunian yang panjang, dari budaya tertua hingga termuda, bahkan berlanjut hingga masyarakat sekarang yang mendiami wilayah ini. Kekayaan situs dan kemenerusan hunian yang berlangsung dalam rentang waktu yang panjang menjadikan wilayah ini sebagai sasaran penelitian terpenting dalam pemahaman prasejarah lokal dan regional (Simanjuntak, 2004)
MEMBUKTIKAN SEBUAH LEGENDA
Komunitas Geotrek Indonesia bulan Februari tahun lalu pergi ke Pacitan dan sekitarnya untuk membuktikan legenda Kali Baksoka. Saya menemani mereka untuk belajar di lapangan tentang perbukitan kars Pegunungan Sewu, masuk ke beberapa guanya yang terkenal, dan melihat penemuan-penemuan prasejarah yang ada. Kami pun bermaksud menyusuri Kali Baksoka untuk membuktikan sebuah legenda sumber kegembiraan von Koenigswald.
Karena waktu kami terbatas, kami hanya masuk ke tiga gua terkenal di kawasan ini: Gua Tabuhan, Song Terus, Gua Gong. Song adalah kata lokal untuk menyebut gua yang memiliki dua pintu, di depan dan belakang. Di Gua Tabuhan dan Gong, kami belajar aneka speleotem (ornamen gua hasil pelarutan dan pengendapan batugamping) yang sangat menakjubkan, terutama di Gua Gong yang terdiri atas beberapa tingkat gua.
Menjelang sore hari, kami tiba di sebuah jembatan yang di bawahnya mengalir bagian hulu Kali Baksoka. Kali ini mengalir ke selatan dan bermuara di Samudera Hindia di sebelah baratdaya Pacitan. Tak jauh dari jembatan ada tugu batu bertuliskan “Situs Sungai Baksoka” dan di sebelahnya ada panel memuat informasi ringkas tentang penemuan prasejarah di sungai/kali ini.
Setelah bercerita tentang apa dan bagaimana Kali Baksoka itu dalam studi prasejarah Pegunungan Sewu di area Pacitan, saya mencari jalan untuk turun ke sungai. Dalam pikiran saya, mungkin bisa menyusuri ke arah hulu siapa tahu menemukan artefak, tetapi saya tak yakin dengan waktu yang tersedia. Saya tidak tahu di bagian mana von Koenigswald dan Tweedie pada tahun 1935 menemukan 3000 artefak itu.
Saya mengajak peserta turun ke sungai, cukup banyak yang berminat. Kami mendapatkan jalan turun ke sungai tak jauh dari jembatan dan tiba di beting sungai (endapan bahan rombakan batuan dan pasir) yang memanjang sejajar sungai. Arus air tidak deras dan sungai tidak dalam.
Lalu dengan pedoman gambar-gambar artefak perkakas batu yang pernah ditemukan, kami mulai mengumpulkan batuan-batuan di beting sungai itu. Saya menemukan banyak sekali fosil kayu membatu yang terkersikkan yang dulunya bagian batang atau cabang pohon. Fosil kayu terkersikkan juga adalah bahan pembuat perkakas zaman purba.
Dan mulailah penemuan demi penemuan artefak pun terjadi. Rasanya itu artefak setelah kami cek lebih jauh. Yang paling mirip dan mungkin iya adalah sebuah kapak genggam dari bahan batugamping terkersikkan (silicified limestones) yang oleh masyarakat setempat disebut batugamping rijangan. Nampaknya itu memang kapak genggam. Ada ciri pangkasan bifasial (dua muka) pada sebagian besar atau seluruh permukaan alat berusaha menciptakan bentuk-bentuk simetris. Bila ini hasil erosi sungai, kenampakannya tak akan seperti bekas pangkasan. Kapak genggam yang ditemukan di Song Terus berada di lapisan berumur 300.000-80.000 tahun (Ansyori, 2010). Menurut penelitian, corak artefak paleolitik yang ditemukan di Kali Baksoka tidak ditemukan di sekuen penggalian Song Terus sampai yang paling tua menurut pentarikhan umur, sehingga disimpulkan bahwa paleolitik Kali Baksoka lebih tua dari umur artefak tertua di Song Terus.
Saya juga melihat banyak rombakan kalsedon, jasper yang biasa dibikin perkakas, dan juga mungkin artefak mirip serpihan. Lalu seorang peserta menemukan fosil gigi rusa yang mirip dengan yang ditemukan di lapisan Song Terus yang juga berumur 300.000 – 80.000 tahun.
Rasanya kami sore itu membuktikan bahwa yang ditulis von Koenigswald (1935) menemukan 3000 artefak dalam satu jam di Kali Baksoka mungkin benar sebab kami sendiri tak sampai 15 menit mencari sambil lalu di satu endapan sungai saja menemukan berbagai bahan yang kemungkinan besar merupakan artefak. Memang Kali Baksoka adalah sebuah legenda.
GEOLOGI & ARTEFAK PACITANIAN
Sebagaimana dideskripsikan, industri alat batu Pacitanian menggunakan batuan tuf terkersikkan (silicified tuff, sebagai bahan dasar terbaik), batugamping terkersikkan (silicified limestone) dan fosil kayu (kayu terkersikkan, silicified wood) serta sejumlah besar peralatan serpih dan serpihan (Belwood, 2000). Batugamping terkersikkan dan tuf terkersikkan sangat diutamakan untuk peralatan mengingat sifatnya yang keras, tetapi retas jika dipukul sehingga memudahkan pembuatan alat. Batugamping kersikan ini juga disebut ‘rijang’ dalam bahasa lokal. Batuan andesit yang sangat banyak terdapat di mana-mana sangat jarang dipakai
untuk membuat alat karena kualitasnya tak sebaik batuan terkersikkan.
Secara geologi, adalah memungkinkan wilayah Pegunungan Sewu terutama Pacitan mempunyai bahan-bahan untuk peralatan batunya. Satuan batugamping masif maupun terumbu merupakan satuan batuan terluas yang terbentuk pada Miosen Tengah (Formasi Wonosari dan Punung). Satuan batuan tuf yang terdiri atas tuf, tuf pasiran, tuf berlapis, breksi volkanik dan konglomerat merupakan sedimen volkanik yang berumur Miosen Awal dan merupakan bagian Formasi Jaten, Wuni dan Oyo. Satuan batuan ini terdapat di wilayah Punung, Pringkuku, Giriwoyo, Nglipat, Semin dan Playen. Batugamping dan tuf ini sering mengalami silisifikasi menjadi batugamping kersikan, tuf kersikan, rijang, kalsedon, opal dan jasper. Inilah bahan-bahan untuk membuat peralatan batu.
Secara umum, kelompok Pacitanian dapat dibedakan menjadi alat-alat serpih dan alat-alat batu inti (core tools) (Movius, 1944). Teknik perolehan bahan baku sangat menarik. Balok-balok besar batuan kersikan ditemukan di lembah Baksoka dan manusia prasejarah tampaknya memukulkan batu pada balok-balok batuan ini untuk memperkecil ukurannya. Beberapa serpih besar dipakai sebagai bahan untuk menghasilkan alat serpih dan bilah yang lebih kecil. Movius (1944) menyatakan bahwa serpih-serpih yang didapatkan berukuran sangat bervariasi dari yang paling besar disebut gigantolith sampai bilah yang kecil.
Kapak perimbas dicirikan oleh tajaman yang dibentuk melalui pangkasan monofasial (satu muka) dari sisi ujung (distal) ke arah pangkal (proksimal) untuk menciptakan sisi tajaman yang membulat, lonjong, atau lurus. Kapak penetak dicirikan oleh pangkasan bifasial (dua muka), juga dari bagian ujung ke arah pangkal alat. Sering pangkasan dilakukan berselang-seling ke masing-masing bidang sehingga menciptakan tajaman berliku. Pahat genggam memiliki bentuk
persegi dengan sisi tajaman tegak lurus pada sumbu panjang alat. Proto kapak genggam dalam banyak hal terbuat dari serpih besar dan dikerjakan hanya pada bidang atas untuk membuat bentuk pahat genggam meruncing.
Kapak perimbas-penetak-genggam dan serpih (flake) Pacitanian dari wilayah Punung, Pacitan, Jawa Timur tidak berdiri sendiri. Peralatan ini dapat dihubungkan dengan artefak sejenis yang ditemukan di tempat-tempat lain, sehingga dapat menggambarkan pola migrasi manusia pembuatnya.Peralatan Pacitanian merupakan bagian kompleks kapak perimbas-penetak yang tersebar di Asia Timur. Beberapa situs terpenting dalam wilayah ini adalah: Soanian (Punjab), Tampanian (Malaysia), Cabalwanian (Filipina), Chouchoutienian (Cina), dan Fingnoian (Thailand). Hal yang sama, kapak perimbas dan kapak penetak yang sangat menonjol di Asia, juga terdapat di Eropa dan Afrika.
SIAPAKAH PEMBUAT PALEOLITIK PACITANIAN?
Sebagai suatu budaya paleolitik yang mendunia, alat-alat Pacitanian masih tetap meninggalkan persoalan mendasar yang belum bisa dipecahkan secara memuaskan, yaitu siapakah pembuat peralatan ini. Terdapat tiga perdebatan, apakah pembuatnya Homo erectus, manusia Wajak (Homo wadjakensis, Bartstra, 1976) atau Homo sapiens. Terdapat dua penyulit atas kasus ini: (1) tidak ditemukannya fosil hominid atau manusia pembuat paleolitik ini, (2) penentuan posisi stratigrafi (lapisan-lapisan batuan) peralatan paleolitik di Kali Baksoka tidak diketahui sebab semua artefak ini ditemukan sebagai bahan rombakan di dasar atau tebing sungai, sehingga umurnya belum diketahui dengan pasti.
Meskipun demikian, berdasarkan beberapa kesebandingan regional dengan situs-situs lain di wilayah Pacitan, terutama dengan situs Song Terus yang diteliti dengan detail sampai lapisan tertua yang ditarikh umurnya sekitar 300.000 tahun yang lalu, diperkirakan bahwa paleolitik Kali Baksoka lebih tua dari 300.000 tahun berdasarkan perbandingan tipologi (bentuk) peralatannya. Dengan mengetahui bahwa umur paleolitik Baksoka (Pacitanian) lebih tua dari 300.000 tahun, maka kemungkinan pembuatnya adalah Homo erectus progresif, yang masa hidupnya berada di antara akhir Plistosen Tengah-awal Plistosen Akhir (Widianto, 2004).
——————————————————
Demikian sebuah cerita tentang kegiatan kami di Komunitas Geotrek Indonesia, khususnya di Kali Baksoka. Malam harinya di Pacitan di sebuah rumah yang sering dijadikan basecamp penelitian oleh para ahli arkeologi, kami menginap. Seusai makan malam, sebelum tidur, selama tiga jam dari pukul 20.00-23.00 saya mengajak para peserta berdiskusi di kelas malam membahas segala sesuatu yang kami lihat di Pacitan dalam bahasa yang mudah: tentang geologi Pegunungan Sewu, tentang topografi kars, tentang anatomi gua, dan tentang prasejarah Pacitan.
Melihat dan berdiskusi di lapangan, dan pendalaman materi di kelas malam, serta buku/materi tentang ini semua yang saya tulis buat para peserta, semoga dapat meningkatkan pemahaman dan penghargaan kita akan warisan sejarah alam dan budaya Indonesia.
Sebab kitalah pewarisnya, maka pahami, sayangi, hargai.***