“Hidup dengan janji berarti hidup dalam iman, tetapi bukan iman pada Tuhan yang telah selesai diketahui. Ini iman dalam kekurangan dan kedaifan—ikhtiar yang tak henti-hentinya, sabar dan tawakal, karena Tuhan adalah Tuhan yang akan datang, Tuhan dalam ketidakhadiran. Dari sini kita tahu para ateis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian. Sebenarnya mereka juga terkena waham, tertipu berhala.” (Al-Ghazali dalam al-Maqsad al-Asnâ, vide Goenawan Mohamad, 2007)
————————————————————
Tulisan di bawah ini adalah soal Ateisme Baru, yaitu istilah yang merujuk pada pergerakan ateisme pada abad ke-21. Ateisme baru terjadi mengikuti terorisme politis atas nama atau berkedok agama setelah peristiwa 11 September 2001 (teror the World Trade Center). Ada tiga penganjurnya yang utama: Richard Dawkins, Sam Harris, dan Christopher Hitchens. Mereka menulis buku-buku yang mengingkari keberadaan Tuhan dan mengutuk agama. Salah satunya adalah buku “The God Delusion” (Richard Dawkins, 2006), yang baru selesai saya baca.
Mereka dan pendukung Ateisme Baru lainnya merupakan kritikus agama yang keras. Mereka menyatakan bahwa ateisme, yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan, telah mencapai titik yang merupakan momen untuk mengurangi sifat akomodatif terhadap agama, takhayul, dan fanatisisme agama. Ateisme Baru memandang bahwa agama harus dijawab, dikritik, dan dibongkar dengan argumen rasional.
Dan saya akan mengritiknya menggunakan buku yang lain “The Case of God” (Karen Armstrong, 2009 – diterjemahkan “Masa Depan Tuhan”, Mizan, 2011), dan beberapa pandangan pribadi.
————————————————————
Kata “waham”, jarang terdengar, wajar kalau banyak orang tak paham. Tetapi kata ini tepat menggambarkan ateisme baru tersebut. Waham adalah keyakinan atau pikiran yang salah karena bertentangan dengan dunia nyata serta dibangun atas unsur yang tidak berdasarkan logika, sangka, curiga.
Satu kata itulah yang muncul di kepala saya seusai membaca buku laris “The God Delusion” karya tokoh dan ilmuwan ateis terkenal Richard Dawkins (2006). Dawkins mengalami WAHAM. Buku ini laris di Amerika dan Eropa. Ini adalah sebuah buku yang sangat berani dan agresif menyerang ketuhanan dan agama.
Saya mendengar buku ini pernah ditimbang bolak-balik oleh penerbit-penerbit besar di Indonesia untuk diterjemahkan. Mereka tak jadi menerjemahkannya sebab buku seperti ini mungkin tak akan laku di Indonesia. Namun ada beberapa penerbit kecil berencana menerjemahkannya, termasuk buku-buku penganjur ateisme baru yang lain. Ateisme Baruu, jangan salah, juga ada di Indonesia, membentuk kelompok-kelompok di media sosial
Buku lain yang juga ateistik meskipun dibungkus dalam sampul sains, The Grand Design, karya Stephen Hawking (2010) yang diterjemahkan Gramedia (2010) sebagai Rancang Agung saya lihat tak laku di pasaran. Saya membeli buku Hawking tersebut baik yang edisi aslinya maupun terjemahan dan sama saja saya menemukan sebuah WAHAM. Di buku ini, Stephen mengemukakan dengan terus terang bahwa Tuhan tidak ada, alam semesta terjadi dengan sendirinya melalui proses-proses fisika yang disebutnya “a grand design”. Ini berbeda dengan bukunya yang sangat populer “A Brief History of Time” (1988), diterjemahkan sebagai Riwayat Sang Kala oleh Pustaka Utama Grafiti (1994), di sini Hawking masih bersifat agnostik tentang Tuhan dan membuka peluangnya untuk ada – dan buku itu laku juga di pasaran Indonesia.
————————————————————
Hampir empat tahun setelah diterbitkan (2006-2010), buku The God Delusion karya Dawkins menurut informasi telah terjual sebanyak lebih dari dua juta buku. Dawkins menyampaikan empat pesan “peningkatan kesadaran” dalam bukunya yang kontroversial ini: (1) para ateis bisa bahagia, seimbang, bermoral, dan secara intelektual terpenuhi; (2) seleksi alam dan teori-teori ilmiah yang sama lebih unggul daripada “hipotesis Tuhan”—yang hanya merupakan ilusi desain cerdas–dalam menjelaskan kehidupan dan kosmos; (3) anak-anak seharusnya tidak diberi label oleh agama orang tua mereka, misalnya anak Kristen atau anak Muslim; (4) seorang ateis haruslah bangga, bukan peminta maaf, karena ateisme adalah bukti dari pikiran yang independen dan sehat.
Dikatakan Dawkins bahwa agama adalah peyebab semua masalah dunia kita, agama adalah sumber kejahatan mutlak dan meracuni segalanya. Dawkins menganggap dirinya berdiri di barisan terdepan gerakan ilmiah/rasional yang pada akhirnya akan mencoret gagasan tentang Tuhan dari kesadaran manusia.
Seusai Richard Dawkins menulis bukunya dan membuat kontroversi yang riuh di dunia sana (Amerika dan Eropa), maka belasan buku ditulis untuk menanggapi secara terbalik (kontra) pikiran-pikiran Dawkins.
Ini beberapa dari buku-buku lawannya: Dawkins’ Dilemmas (Michael Austin), The Devil’s Delusion (David Berlinski), Darwin’s Angel (John Cornwel), God is No Delusion (Thomas Crean), The Irrational Atheist: Dissecting the Unholy Trinity of Dawkins, Harris, and Hitchens (Vox Day), Answering the New Atheism: Dismantling Dawkins’ Case Against God (Scott Hahn dan Benjamin Wiker), Atheist Delusions: The Christian Revolution and Its Fashionable Enemies (David Bentley Hart), God’s Undertaker: Has Science Buried God? (John Lennox), The Dawkins Delusion? (Alister McGrath dan Joanna Collicutt McGrath), Help My Unbelief (William J O’Malley), Is God a Delusion? A Reply to Religion’s Cultured Despisers ( Eric Reitan), The Dawkins Letters: Challenging Atheist Myths (David Robertson), God, Doubt and Dawkins: Reform Rabbis Respond to the God Delusion (Jonathan A Romain), The God Reality:A critique of Richard Dawkins’ The God Delusion (Rob Slane), Why There Almost Certainly Is a God: Doubting Dawkins (Keith Ward), God, Actually (Roy Williams), Deluded by Dawkins? A Christian Response to The God Delusion (Andrew Wilson), The Deluded Atheist: A Response to Richard Dawkins, (Douglas Wilson)
Dan juga sebuah buku berjudul “The Case of God” karya penulis terkenal soal ketuhanan dan keagamaan, Karen Armstrong (2009), yang telah diterjemahkan oleh Mizan (2011) sebagai “Masa Depan Tuhan – Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme”. Buku Karen menarik, sebab ia menyerang baik kaum ekstrem agama (para fundamentalis), maupun ekstrem nonagama (para ateis). Keduanya, manurut Karen, sama-sama buruk.
————————————————————
Apakah ateisme ada di Indonesia? Tentu saja ada. Cobalah googling, dan kita akan menemukan beberapa kelompoknya di media sosial, yang anggotanya sangat senang menyambut lahirnya karya Richard Dawkins The God Delusion, dan menganggapnya sebagai the Bible – Kitab Suci….
Apakah para ateis dibolehkan tinggal di Indonesia sebab penduduk Indonesia yang sudah dewasa saat ini harus mencantumkan agama (atau mungkin aliran kepercayaan?) yang dipeluknya di KTP. Kepercayaan adalah hak asasi manusia, termasuk memercayai bahwa Tuhan tidak ada (ateisme). Tentu ini akan menjadi diskusi tersendiri yang akan mengundang pro dan kontra.
Tetapi bedakanlah antara praktik ateisme dan kajian ateisme. Saya bukan seorang ateis, saya memercayai dan mengalami kehadiran Tuhan secara pribadi, baik melindungi dan menyokong saya maupun menghukum saya. Tetapi saya menyukai kajian ateisme sejak dulu, dan itu sebenarnya sama dengan saya menyingkapkan atau mengujikan iman saya kepada api, sebuah iman memang layaknya diuji dengan api.
————————————————————
Karen Armstrong dalam Masa Depan Tuhan (Mizan, 2011) mengritik ateisme Dawkins. Dikatakan Karen bahwa Richard Dawkins adalah eksponen ekstrem naturalisme ilmiah untuk ateisme, jauh lebih daripada Carl Sagan, Steven Weinberg atau Daniel Dennett yang hanya mengatakan bahwa kita harus memilih antara sains dan iman. Dan Dawkins berseberangan pendapat soal ini dengan ahli biologi evolusi terkenal lainnya, Stephen Jay Gould (1941-2002). Menurut Gould, sains tidak kompeten memutuskan apakah Tuhan itu ada atau tidak karena sains hanya bisa bekerja dengan penjelasan alam. Gould sendiri cenderung seorang agnostik. Dan masih banyak ahli evolusi ternama lainnya yang tidak menjadi ateis, tetapi kebanyakan agnostis. Darwin sendiri,pengembang teori evolusi telah membantah bahwa dirinya seorang ateis. Tampak bahwa ateisme bukan merupakan konsekuensi wajib menerima teori evolusi.
Menurut Karen, Dawkins memiliki pandangan sederhana tentang ajaran moral Alkitab – kitab suci orang Kristen, mengambil begitu saja bahwa tujuan utamanya adalah mengeluarkan aturan perilaku yang jelas dan memberi kita contoh teladan, tetapi menurut Dawkins itu sangat tidak memadai. Dia juga mengandaikan bahwa karena Alkitab mengklaim diilhami oleh Allah, ia juga seharusnya memberikan informasi ilmiah. Dawkins berpendapat Alkitab tidak bisa diandalkan tentang sains.
Dari sini saja kita sebenarnya sudah bisa menilai bahwa Dawkins mempunyai keyakinan yang salah sangka, WAHAM. Alkitab atau pun Kitab Suci lainnya bukanlah buku ilmu pengetahuan alam, dan sejauh mana definisi sangat tidak memadai menurutnya itu. Alkitab atau Kita Suci lainnya jelas memuat tuntunan-tuntunan dan larangan-larangan yang jelas dan memadai.
Dan Dawkins pun salah sangka menganggap bahwa fundamentalisme mewakili atau bahkan merupakan kekhasan Kekristenan atau agama secara keseluruhan. Jenis reduksionisme ini adalah khas mentalitas fundamentalis. Penting untuk mengritik Dawkins karena menampilkan fundamentalisme sebagai fokus inti ketiga agama monoteisme (Kristen, Islam, Yahudi). Dawkins memiliki pengertian yang sangat literalis tentang Tuhan. Bagi dia, keyakinan agama bersandar pada gagasan bahwa Tuhan adalah Perancang Adialami. Dia juga salah mengklaim bahwa Tuhan adalah hipotesis ilmiah, yaitu sebuah kerangka kerja konseptual yang harus dibuktikan melalui serangkaian pengamatan dan eksperimen.
Semua orang ateis baru, tulis Karen Armstrong, menyamakan iman dengan sikap mudah tanpa pikir. Misalnya Sam Harris (2004) dalam The End of Faith, yang ditulisnya segera setelah peristiwa 11 September 2001 (teror the World Trade Center), menegaskan bahwa satu-satunya cara untuk membebaskan dunia kita dari terorisme adalah dengan menghapuskan semua iman sebagai “keyakinan tanpa bukti”, sebab katanya bahwa iman adalah akar dari segala kejahatan. Sependapat dengan Harris adalah Christopher Hitchens (1949-2011) dalam bukunya God is Not Great-How Religion Poisons Everything (2007).
Ketiga penyebar ateisme modern ini (Dawkins, Harris, dan Hitchens) menampilkan agama dalam bentuk terburuk mutlaknya. Dalam satu hal memang mereka benar sebab kekerasan telah banyak dilakukan atas nama agama, tetapi para pelakunya itu bukanlah orang-orang yang sungguh menghayati kehidupan beragama. Dan bila mereka telah menyerang agama atas kesalahsangkaan ini, sebab agama yang benar tidak begitu, dan agama juga sering dikambinghitamkan oleh manuver-manuver politik; maka mereka sesungguhnya mendasarkan ateisme mereka atas dasar yang keliru. Itulah WAHAM.
Dan, ada juga kontradiksi yang melekat pada ateisme baru, khususnya dalam penekanannya pada pentingnya bukti dan klaim bahwa sains selalu membuktikan teorinya secara empiris. Sebagaimana pendapat Popper atau Kuhn, para filsuf sistematika ilmu, sains itu sendiri harus bersandar pada suatu tindakan iman. Darwin misalnya, mengakui bahwa dia tidak dapat membuktikan hipotesis evolusi, tetapi dia tetap percaya kepadanya. Dawkins, pemuja Darwin, kalau begitu mengapa menghina iman padahal sains pun punya imannya sendiri –sebuah kontradiksi. Dan sudah sekitar 100 tahun ini para ilmuwan percaya, memiliki iman pada teori relativitas Einstein, walaupun mereka tak melihatnya, dan tak mendengarnya bahwa teori ini telah diverifikasi secara definitif. Untuk ilmu pengetahuan, mereka mempunyai iman. Untuk Tuhan, mereka menyingkirkan iman. Suatu kontradiksi.
Tentu saja tidak semua konflik itu sepenuhnya disebabkan agama. Agama tak jarang dimanfaatkan untuk menutupi maksud-maksud sebenarnya dari politik di dalam konflik itu. Polemik mereka sama sekali abai pada keadilan dan kasih sayang yang didukung oleh agama-agama monoteistik.
Dan ateisme baru itu tidak fasih dalam soal teologi, berbeda dengan serangan ateisme masa lalu yang dikemukakan Feurbach, Marx, dan Freud. Polemik ateisme baru secara teologi dangkal dan tak memiliki kedalaman. Pada masa lalu, para teolog telah mendapatkan manfaat berargumen dengan para ateis. Ide-ide teolog Karl Barth (1886-1968) misalnya meningkat kualitasnya berkat argumentasinya dengan serangan-serangan dari Feurbach, Bultmann, Tillich dan Rahner. Tetapi sulit untuk melihat bagaimana para teolog sekarang mendapatkan manfaat bergumentasi dengan Dawkins, Harris, Hitchens, karena teologi ateisme mereka begitu sederhana dan salah sangka pula.
Namun, kita harus mencatat dengan cermat apa yang kita sebut dengan “fenomena Dawkins”. Fakta bahwa brosur-brosur, buku-buku anti-agama tanpa pengendalian diri ini telah meraih pembaca yang begitu luas tidak hanya di Eropa , tetapi juga di Amerika yang secara umum lebih relijius.
Dan cobalah googling, maka kita akan menemukan bahwa di Indonesia pun, telah ada kelompok-kelompok ateisme baru, yang menjadikan karya-karya Dawkins, Harris, dan Hitchens sebagai kitab suci mereka. Dan semuanya tanpa dasar teologi yang memadai.
————————————————————
Kata Jean-Luc Marion, seorang filsuf postmodernisme abad 21: Tuhan bukanlah hasil keinginan dan konklusi diskursus kita. Ia mengatasi Ada, Ia mampu tanpa Ada. Tuhan datang dengan kemerdekaanNya kepada kita karena KasihNya yang berlimpah, sebagai karunia dalam wahyu.
Bila benar begitu, maka dari sini kita tahu bahwa para ateis salah sangka: mereka menuntut Tuhan sebagai sosok yang hadir dan ditopang kepastian, artinya mereduksi Tuhan secara empiris. Sebenarnya mereka juga terkena WAHAM, tertipu berhala.***